Jumat, 15 November 2013

Potensi Wisata alam di Kabupaten Bima


Obyek wisata yang ada di Kabupaten Bima adalah :
- GUNUNG TAMBORA
Gunung Tambora merupakan gunung vulkanik yang termasuk dalam wilayah kecamatan Tambora, sekitar 200 km dari Kota Bima. Letusannya pada tahun 1815 sungguh dasyat, Kekuatan letusan mencapai 7 kali lebih kuat dari bom atom. Akibat letusan Tambora, 92.000 orang meninggal dan 3 kerajaan musnah yaitu : kerajaan Sanggar, Tambora dan Pekat. Sisa letusan menyebabkan adanya kaldera dengan luas 9 km dengan kedalaman 1.100 m. Dari puncak kawasan Gunung Tambora kita dapat menikmati keindahan kawasan hutan kayu Calabai, air terjun Sori Panihi (Kawinda) dan juga panorama laut semenanjung (Paninsula) Pantai Sanggar.
- PACUAN KUDA
Lokasi Pacuan Kuda terletak di Desa Panda, Belo, 7 km dari Kota Bima. Pacuan kuda di Bima merupakan pacuan kuda yang sangat unik dan menakjubkan karena yang menungganginya adalah anak-anak berumur 5-8 tahun, sangat menarik untuk ditonton. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima telah mengkalenderkan jadwal pacuan kuda sebanyak 4 kali setahun yaitu April, Juli, Agustus, dan Desember. Anda dapat mencapainya dengan kendaraan umum seperti ojek dan bis kota.
- PULAU ULAR
Pulau Ular adalah salah satu pulau yang berada di tengah perairan bagian timur wilayah administrasi Kecamatan Wera, sekitar 80 km dari Kota Bima. Ular-ular yang mendiami pulau ular sangat unik dan bersahabat, dengan warna putih silver dan hitam mengkilat yang sangat eksotis. Pulau ini dapat di capai dengan perahu tradisional nelayan dengan tempuh 15 menit dari daratan.
- PANTAI KALAKI
Merupakan obyek wisata andalan yang berada di kawasan Teluk Bima dengan jarak tempuh 11 km dari kota Bima. Lokasinya sangat strategis karena berada di jalan Negara Sumbawa-Bima. Pantai Kalaki cocok untuk melakukan banyak kegiatan bahari dikarenakan tersedianya banyak fasilitas dan aneka hiburan laut seperti wisata sepeda air,

Sabtu, 12 Oktober 2013

rimpu cili

MENGENAL DAN MEMAHAMI KARYA SASTRA PANTUN BIMA ( PATU MBOJO )

1. Karakteristik “Patu Mbojo” dalam Sastra daerah Bima
Dalam sastra daerah Bima (Mbojo). selain terdapat karya sastra seperti dongeng juga terdapat bentuk – bentuk karya sastra puisi. Seperti pantun, sair, mantera, prosa liris dll.
Patu adalah salah satu bentuk puisi dalam sastra Bima (Mbojo) yang bentuknya hampir sama dengan bentuk avair ataupun pantun dalam sastra Indonesia. Pemanfaatannyapun sama dengan pemanfaatan pantun dalam sastra Indonesia. Ada yang dimanfaatkan untuk memberikan nasehat. mengungkapkan rasa kagum, menyindir, dan lain – lain.

a. Persajakan “Patu Mbojo”

Walaupun manfaat “Patu” dalam Bahasa Bima (Nggahi Mbojo) sama dengan manfaat Pantun/syair dalam sastra Indonesia, namun dari segi bentuk keduannya memiliki sedikit perbedaan.

Perhatikan salah satu bentuk “Patu Mbojo” berikut :

Teka ku doro Londo mbali sori
Londo mbali sori batu nggahi la saro
Batu cau ro ne’e wati bade doro mana’e

Keinhdahan bahasa Patu Mbojo” di atas tidak terletak pada pola sajak akhir yang sama ataupun sajak selang. Tetapi keindahan bahasa patu banyak dipengaruhi oleh rima yang ada dalam satu baris.
Dari contoh “Patu Mbojo” di atas dapat dilihat bunyi sebagai berikut :

Baris 1 : Doro – sori
Baris 2 : Sori – saro
Baris 3 : Ne’e – Na’e

Keindahanan bahasa dalam “Patu Mbojo” juga didukung oleh perulangan kata dalam satu bait. Perhatikan “Patu Mbojo” berikut :

1. Aina mbou ba loamu sambea
aina hodi ba loamu sahada
niki padasa niki mai kai dosa

2. Ina – ina aina pana made
kone ma made sakola wa’u mada
kombi kaloa pa nenti patalo
kombi kaambi pa doho tanggu amba.

Pada baris pertama patu (1) terdapat kata “Aina” dan “loamu” dan “Made” pada baris pertama yang diulang pada baris kedua dan kata “kombi” pada baris ketiga yang diulang pada baris keempat.

b. Jumlah baris pantun Bima (Patu Mbojo)
Jumlah baris “Patu Mbojo” berkisar antara tiga sampai empat baris, misalnya :

1. Ando da ra laoku lamba
Laoku lamba wa’a ni’u salemba
Watiwara rona kane’e kai ba ruma

2. Ando da ra laoku panati
Laoku panati kai pidu lela nota
nota pidu lela nawau ra si’i kaleli
buneku da si’i labo ita nggahi di sa’e

c. Ciri – ciri pantun Bima (Patu Mbojo)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pantun Bima (Patu Mbojo) mempunyai ciri – ciri ssebagai berikut :

1. Tidak terdapat sampiran seluruh baris merupakan isi
2. Keindahan bahasanya tidak terletak pada sajak akhir tetapi keindahan bahasanya didukung oleh rima dalam satu baris dan perulangan kata dlaam satu bait.
3. Jumlah barisnya berkisar antara tiga sampai empat baris.

2. Mengenal jenis – jenis Patu dalam sastra Mbojo (Bima)
Seperti halnya pantun dalam sastra Indonesia, patu dalam sastra daerah Bima (Mbojo) dibedakan berdasarkan isinya yitu ,
a. Pantun Agama (Dali)

aina mbou ba loamu sambea
aina hodi ba loamu sahada
niki pada niki maikai dosa

b. Pantun muda – mudi

Ntika au ntika dou dinggomi
honggo ma kariti rawe bune roti
rawe bune bolu mawanta dou kau bola

c. Pantun beriba hati

susa lalo ngge lao ina cempe
mbei’na oha ringa nggahi ma iha
mada ma hengge rundu mbeina hanggu

d. Pantun Jenaka

Au rawimu dimoda kai sarowamu?
Ra laoku ta’i di jambata to’i
Poku la mada sarowa wa’ura moda

Khusus pantun teka – teki tidak terdapat dalam sastra Mbojo (Bima) yang ada hanya teka-teki semcam pengibaratan yang menggunakan bahasa kias. Teka – teki digunakan untuk menguji kepekaan seseorang dan juga untuk hiburan atau melepaskan lelah sehabis bekerja. Untuk berteka – teki ini dibutuhkan sekurang – kurangnya dua orang. Satu orang yang membawakan teka – teki dan yang lain memberikan jawaban. Misal :

A : "Pasapu ruma da wa’u dibeca, au pehemu?"
B : “ Ro’o ntala”
Terjemahan :
A : “ Sapu tangan Tuhan yang tidak bisa dibasahi, apa jawabanmu?”
B : “ Daun Talas”


A : “Ompu mbuku ma ndende simi. Au pehem?”
B : “Wua hawi !”
Terjemahan :
A : “Kakek bongkok yang lama menyelam, apa jawabanmu?”
B : “Kail (Mata Pancing) !”


3. Memahami Isi “Patu” dalam sastra Mbojo ( Bima )

Perhatikan kembali “Patu” di bawah ini !
1. Aina mbou ba loamu sambea
Aina hodi ba loamu sahada
Niki padasa niki mai kai dosa

a. Terjemahan kata demi kata :
aina = Jangan
Mbou = berlangga
ba = karena
loamu = Pintar/bisa
Sambea = Sembahyang
Hodi = Lompat – lompat karena senang
Sahada = Sahadat
Niki = Tiap
Padasa = Jeding (Tempat berwudu)
Mai = Datang/mendatangkan
Kai = Kata tambahan
Dosa = Dosa

b. Terjemahan bebas :
Jangan bangga karena kamu bisa sembahyang
Jangan terlalu gembira karena kamu bisa sahadat
Pada setiap padasan kamu bisa mendatang dosa.

c. Pesan yang terkandung dalam “Patu” di atas adalah :
Agar kita jangan berbuat ria (sombong) dalam beribadah kepada Tuhan. karena
hal itu bisa berdosa

2. Lao la ari tapa ao ba ura
lao la ira ta ao ba apu
apu di cela mode di gande cili

a. Terjemahan kata demi kata :
lao = pergi
la = ke
ari = menunjuk daerah sebelah utara gunung Belo (Kota Bima) dan
sekitarnya bila kita berada dikawasan sebelah selatan gunung Belo.
tapa ao = dihadang/menghadang
ba = oleh
ura = hujan
ipa = seberang laut (daerah Donggo, Bolo dan sekitarnya)
apu = kabut
dicela = ditepis/dilerai/kibas
mode = kekasih
digande = dibonceng / digandeng
cili = sembunyi

a. Terjemahan bebas :
Pergi ke kota dihadangkan oleh hujan
pergi kesebarang dihadang oleh kabut
kabut ditepis kekasih dilindungi

b. Nilai yang terkandung di dalamnya yakni :
Demi cinta segala tantangan siap dihadapi

4, Menulis Pantun Bima (Patu Mbojo)

Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam menulis/membuat pantun bima (Patu Mbojo)
a. Menentukan tema dan tujuan pantun Bima (Patu Mbojo)
Misalnya : temannya tentang agama dengan tujuan mengajak orang lain untuk berbuat
kebaikan
b. Menentukan pesan yang ingin disampaikan
Misalnya : dalam beribadah kepada Tuhan jangan riya/sombong sebab hal itu dosa
c. memilih kata – kata yang seirama untuk mendukung rima
Misalnya :
1. Kata “ari” bisa seirama dengan kata – kata : ara, are, aru, iri, ira, uri, ura, ero, eri, oru, oro, ori, ore, ka’uru, kaore, ka’ere, dan lain – lain.
2. Kata " Kanta” bisa seirama dengan kata – kata : Kanto, kanti, kate, kenta, kento, konta, kontu, konte, kakento, kakento dan lain - lain

Contoh penggunaan dalam kalimat :
Ari – ari ta lao aka uma ori
Lao aka uma ori tapa ao ba ura

Wa’ura katanku lao aka kanto
Lao aka kanto labo angi ma kente

Kata – kata di atas hanya sebgaian kecil dari kata – kata yang seirama. Semua kata dalam bahasa Bima bisa seirama misalnya : lao, lai, lua, lia, rata, roti, rutu, rato, dan lain – lain.

Perhatikan kata – kata yang dicetak miring pada setiap baris pantun berikut :
Ngomi ma lao labo ade lalai
Nami mamidi labo ade samada
Ncengga ro ngina hali be da nangi

Kamis, 10 Oktober 2013

rebana dan gambus

Rabu, 09 Oktober 2013

tentang bima


Posted by dedenirwandi | makanan khas bima | Thursday 19 August 2010 9:10 am

busana adat donggo

Posted by dedenirwandi | tradisi bima | Thursday 12 August 2010 10:02 am
Inilah uniknya Bima. Dalam satu kawasan dan satu wilayah, terdapat corak dan warna serta cara berpakaian yang agak berbeda. Adalah pakaian Adat Donggo dan Sambori memiliki perbedaan corak dan cara busana dengan masyarakat Bima pada umumnya. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah warna pakaiannya yang serba hitam. Kenapa Hitam ? Karena dalam tradisi lama, pakaian-pakaian tersebut sangat melekat dengan upacara-upacara dan ritual masyarakat Donggo lama terutama ritual kematian.
Busana adat masyarakat Donggo dan Sambori di kabupaten Bima memang berbeda dengan busana atau pakaian adat masyarakat Bima pada umumnya. Salah satu ciri yang menonjol adalah corak dan warna pakaiannya yang serba hitam dan menggunakan Sambolo(Sejenis Penutup Kepala yang terbuat dari kain kapas dan biasanya bercorak kotak-kotak).  Sejak dulu, masyarakat Donggo yang bermukim di sebelah barat teluk Bima memang punya tata cara dan pengaturan busana yang sangat apik. Pakaian anak-anak, remaja dan dewasa memang dibedakan. Meskipun warna dasar busana mereka adalah hitam.
Untuk perempuan dewasa menggunakan KABABU yang terbuat dari benang katun yang disbut baju pendek (Baju Poro seperti baju adapt Bima yang lengan pendek). Dibawahnya memakai Deko ( sejenis celana panjang sampai di bawah lutut. Untuk perhiasan memakai kalung dan manik-manik giwang. Untuk remaja perempuan tetap memakai Kababu atau baju lengan pendek. Namun dalam cara memaki perhiasan agak berbeda yaitu mereka melilitkan berkali-kali dan dibiarkan terjuntar dari leher ke dada (seperti pada foto ini ).
Untuk kaum pria, mereka mengenakan baju Mbolo Wo’o atau baju leher bundar dan berwarna hitam seperti baju kaos. Dibawahnya mereka mengenakan sarung yang disebut Tembe Me’e Donggo yang terbuat dari benang kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Lalu dipinggangnya dipasangkan Salongo sejenis ikat pinggang berwarna merah atau kuning yang berfungsi sebagai tempat untuk menyematkan pisau atau keris atau parang. Senjatanya sekaligus asesoris adalah pisau Mone( Pisau kecil) yang behulu panjang dengan bentuk agak menjorok. Untuk alas kaki atau sandal mereka menggunakan Sadopa yang terbuat dari kulit binatang dan dibuat sendiri. Dalam tradisi masyarakat Donggo, mereka juga membedakan pakaian untuk berpergian dan pakaian sehari-hari. Mereka tetap menggunakan Sambolo dan Tembe Me’e Donggo di bawahnya. Namun mereka menyertakan Salampe yang terbuat dari kain dan berfungsi sebagai ikat pinggang juga.(Sumber : Ensiklopedia Bima : Muslimin Hamzah)
Sumber : alanmalingi.worpress.com

kerajaan bima

Posted by dedenirwandi | kerajaan dana mbojo | Thursday 12 August 2010 9:47 am
Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
1.Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
2.Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan ncuhi Dara.
3.Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang Bima mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Kerajaan Dana Mbojo Berdiri Pada Pertengahan Abad 11 M.
1.Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
2.Nama Kerajaan.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju. Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima.
Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis.
Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang Donggo Timur).
Masa Pertumbuhan
Setelah dilantik menjadi Sangaji atau raja, Indra Zamrud berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh memajukan kerajaannya. Dalam membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para ncuhi. Terutama ncuhi Dara, ncuhi Parewa, ncuhi Doro Woni, ncuhi Bolo dan ncuhi Bangga Pupa.
Mungkin ada diantara kita yang bertanya. Apakah pada masa Inda Jamrud belum ada perdana menteri dan pejabat lain ?. Ahli sejarah belum menemukan bukti atau keterangan tertulis, tentang adanya pejabat seperti -perdana menteri dan pejabat lain pada masa Indra Zamrud.
Jabatan seperti tureli Nggampo atau Ruma bicara (perdana menteri), ireli (menteri), Rato, Jeneli, Gelarang dan jabatan lain, mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo ( sangaji ke 10). Pada masa itu, ada Tureli Nggampo atau Ruma Bicara yang terkenal, bernarna Bilmana kakak dari sangaji Manggampo Donggo.
Sebagai sangaji yang baru di tuna ro lanti, maka Indra Zamrud melakukan pembangunan dalam berbagai bidang, seperti antara lain:
1.Bidang agama/kepercayaan.
Biarpun pengaruh kerajaan Medang (Jawa Timur) amat besar, namun Indra Zamrud tidak memaksakan rakyatnya menganut agama Hindu, seperti agama yang dianut oleh kerajaan Medang.
Rakyat tetap menganut kepercayaan makamba makimbi. Para ncuhi berfungsi sebagai peminipin agama. Sangaji bersama rakyat terus mengamalkan falsafah dan pandangan hidup lama.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Indra Zamrud tetap berdasarkan falsafah maja labo dahu, serta asas mbolo ro dampa dan karawi kaboju. Sangaji harus berperan sebagai hawo ro ninu atau pengayom dan pelindung rakyat. Dalam membangun negeri, sangaji bersama rakyat harus tahan Uji dan ulet. Mereka harus pantang menyerah, sesuai dengan falsafah “Su’u sa wa’u sia sa wale” (walau bagaimana berat tugas yang dijunjung dan dipikul, rakyat harus melaksanakanilya).
2.Bidang Ekonomi.
Indra Zamrud berusalia keras meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Guna mewujudkan cita-cita, ia giat memajukan pertanian, peternakan serta pelayaran dan perniagaan.
Hasil pertanian dan peternakan kian bertambah. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat meningkat. Bahaya kemiskinan dan kelaparan tidak terjadi.
Dibidang pelayaran dan perniagaan mengalami hal yang sama. Pelayaran dan perniagaan bertambah maju. Pelabuhan Mbojo ramai dikunjungi para pedagang dan musafir, dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka datang membeli hasil bumi Dana Mbojo, seperti kuda, kerbau, kayu kuning, kayu sopang, rotan dll. Selain menjual hasil buminya, rakyat dapat pula membeli berbagai jenis barang dari para pedagang dan musafir. Berbagai hasil pertukangan atau industri yang indah dan mahal, mereka beli dari para pedagang yang datang ke Dana Mbojo. Barang-barang yang mereka beli antara lain, berbagai jenis keramik, perhiasan dari emas, Perak, kain sutera dan berbagai jenis senjata.
Indra Zamrud dengan bantuan para ncuhi dan dukungan rakyat, telah berhasil meletakkan dasar yang kokoh bagi kehidupan kerajaan. Setelah ia wafat, perjuangannya diteruskan oleh anak cucunya. Sangaji Batara Indra Bima, Batara Sang Luka, Batara Bima, serta Maha Raja Indra Terati melanjutkan perjuangan Indra Zamrud, dalam membangun dou labo dana (rakyat dan negeri).
Kapan Indra Zamrud wafat, tidak dapat diketahui dengan pasti. Walau demikian, ia telah berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi kehidupan kerajaan. Pada masa itu kerajaan Mbojo, bagaikan sebatang pohon yang bukan dalam keadaan ncuhi atau ncuri. Melainkan sudah tumbuh tegar berbatang dan berakar kuat, berdaun dan beranting yang indang dan rimbun.
Kerajaan Mengalami Kejayaan.
Pada masa pemerintahan sangaji Manggampo Jawa, di sekitar abad 14 M, kerajaan Mbojo Bima mengalami kemajuan yang amat pesat. Manggampo Jawa adalah putra sangaji Indra Terati dengan permaisuri yang berasal dari bangsawan Majapahit. Itulah sebabnya Manggampo Jawa menjalin kerja sama dengan Majapahit dalam membangun kerajaan.
Dalam rangka meningkatkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Manggampo Jawa mendatangkan para ahli dari Majapahit, dibawah pimpinan Ajar Panuli.
Ajar Panuli dan kawan-kawannya, mengajarkan sastra jawa kepada para pembesar istana dan rakyat. Mulai saat itu, rakyat mengenal tulisan, Menurut ahli sejarah, pada masa itu pula sangaji Manggampo Jawa, merintis penulisan naskah kuno yang bernama “bo”. Sayang naskah kuno bo yang ditulis pada masa Manggampo Jawa, sudah tidak ada lagi. Bo yang merupakan sumber sejarah yang masih ada sekarang, berasal dari bo yang ditulis pada masa kesultanan.
Selain berjasa dalam bidang sastra. Ajar Panuli berhasil memajukan ilmu teknologi. Ia mengajarkan cara pembuatan batu bata dan pembuatan keris serta tombak.
Pada masa pemerintahan Batara Indra Luka putra Manggampo Jawa, hubungan dengan Majapahit masih terjalin dengan intim. Begitu pula pada masa pemerintahan sangaji Maha Raja Indra Seri, putra dari Batara Indra Luka.
Ketika pemerintahan sangaji Ma Wa’a Paju Longge, putera dari Maha Raja a Indra Seri, hubungan dengan Majapahit terputus. Sebab pada saat itu Majapahit sudah mengalami kemunduran. Karena terjadi perang saudara yang berkepanjangan, setelah wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364.
Ma Wa’a Paju Longge yang, memerintah di sekitar abad 15 M, meningkatkan hubungan dengan kerajaan Gowa. Pada saat itu kerajaan Gowa, sedang berada dalam jaman kejayaan, di bawah raja Imario Gau Tumi Palangga.
Ma Wa’a Paju Longge pergi ke Gowa untuk mempelajari ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian ia mengirim dua orang saudaranya, yang bernama Bilmana dan Manggampo Donggo ke Gowa.
Sejak itu sistim politik pemerintahan, pertanian, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan, mengikuti sistim yang berlaku di Gowa. Seni budaya Gowa ikut pula mempengaruhi seni budaya Mbojo Bima.
Setelah sangaji Ma Wa’a Paju Longge mangkat, ada satu peristiwa yang menarik untuk dijadikan contoh bagi generasi muda.
Menurut ketentuan yang berlaku, apabila sangaji yang mangkat tidak mempunyai putera, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang tertua. Ketentuan itu terpaksa dilanggar oleh Bilmana dan Manggampo Donggo.
Dengan penuh keikhlasan, Bilmana menyerahkan jabatan sangaji kepada adiknya Manggampo Donggo. Ia sendiri memegang jabatan Tureli Nggampo (perdana menteri). Hal ini dilakukan demi rakyat dan negeri. Karena Manggampo Donggo memiliki bakat dan keahlian untuk menjadi sangaji. Sedangkan Bilmana cocok untuk menjadi Tureli Nggampo. Kebijaksanaan ini diperkuat dengan sumpah yang bernama sumpah Bilmana dan Manggampo Donggo. Sejak itu keturunan Manggampo Donggo menjadi raja dan sultan. Sebaliknya, anak cucu Bilmana menjadi Tureli Nggampo atau Ruma Bicara.
Manggampo Donggo bersama Bilmana, bahu membahu membangun kerajaan. Mereka berjuang tanpa kenal menyerah.
Pertanian dan peternakan dikembangkan. Daerah pertanian dan peternakan diperluas. Keduanya mencetak sawah-sawah baru yang subur. Sebagian sawah untuk kepentingan kerajaan dan sebagian untuk rakyat. Daerah yang tidak cocok untuk pertanian, dijadikan daerah peternakan.
Sistim pemerintahan, disempurnakan dan disesuaikan dengan sistim yang berlaku di kerajaan Gowa. Selain sangaji dan Tureli Nggampo, diangkat pula tureli (menteri), jeneli (camat), gelara (kepada desa).
Pelayaran dan perniagaan pun berkembang dengan pesat. Kapal dan perahu ditingkatkan jumlah dan mutunya. Mengikuti ilmu pelayaran dan perniagaan kerajaan Gowa.
Keamanan kerajaan ditingkatkan pula. Angkatan Darat dan Laut diperbaharui. Panglima perang dipegang oleh Bumi Renda, yang merangkap sebagai panglima angkatan darat. Angkatan laut dipimpin oleh seorang laksamana yang disebut Pabise.
Usaha yang dilakukan oleh dua bersaudara, berhasil dengan sukses. Sehingga pada akhir abad 15, kerajaan Mbojo menjadi pusat perniagaan yang ramai di wilayah Nusantara bagian Timur, selain Gowa dan Ternate. Pada saat itu, kerajaan Mbojo menjadi gudang beras selain Lombok.
Perkembangan dalam bidang sastra dan seni budaya pun cukup cerah. Manggampo Donggo memperkenalkan aksara yang dipelajari dari Gowa. Aksara itu akhirnya menjadi aksara Mbojo.
Manggampo Donggo melanjutkan penulisan Bo dengan aksara Mbojo.
Seni budaya dari Gowa, dipelajari dan dikembangkan ditengah masyarakat. Sehingga lahir seni budaya Mbojo, yang banyak persamaan dengan seni budaya Makasar dan Bugis.
Wilayah kekuasaan kerajaan Mbojo Bima, terbentang luas dari P. Satonda di sebelah barat sampai ke Alor Solor di sebelah Timur. Perluasan wilayah dilakukan oleh La Mbila putera Bilmana.
Kejayaan kerajaan Mbojo Bima, terus bertahan sampai pada sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, putera Manggampo Donggo disekitar abad 16 M.
E.Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kemunduran.
Setelah sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, maka cahaya kejayaan kerajaan mulai redup dan akhirnya padam.
Pasti ada dikalangan generasi muda yang bertanya keheranan. Kenapa terjadi petaka di kerajaan yang jaya dan besar itu ?. Apakah karena diserang oleh musuh dari luar atau karena ada pemimpin dan rakyat yang berkhianat ?.
Timbulnya petaka bukan karena serangan musuh dari luar, tetapi karena ada musuh dalam selimut. Salah seorang putera raja Ma Wa’a Ndapa yang bernama Salisi berkhianat kepada don labo dana (rakyat dan negeri). Ia berambisi menjadi Sangaji. Untuk mewujudkan ambisinya, Salisi membunuh Sangaji Samara kakaknya sendiri. Kemudian, ia membunuh Jena Teke (putera mahkota ) di padang perburuan mpori Wera.
Walau demikian Salisi tidak berhasil mewujudkan cita-citanya. Majelis Hadat bersama seluruh rakyat mengangkat Sawo (Asi Sawo) menjadi Sangaji. Salisi bertambah kecewa, ia menunggu waktu yang tepat guna mewujudkan cita-citanya.
Pada masa pemerintahan Sangaji Asi Sawo, untuk sementara waktu Salisi berdiam diri, guna menyusun kekuatan. Pada tahun 1605, Salisi menjalin kerja sama dengan Belanda di pelabuhan Ncake (wilayah desa Roka Kecamatan belo / Pali Belo sekarang). Kerja sama itu dinyatakan dalam satu perjanjian yang disebut perjanjian Ncake.
Saat yang dinanti-nanti oleh Salisi tiba. Ketika Sangaji Asi Sawo mangkat, Salisi berusaha untuk membunuh putera Asi Sawo yang bernama La Ka’i, yang sudah diangkat oleh Majelis Hadat sebagai Jena Teke.
Suasana istana dan seluruh negeri kembali kacau. La Ka’i bersama pengikut Iari meninggalkan istana. Pergi bersembunyi di desa Teke (Kecamatan Belo / Pali Belo sekarang), kemudian pindah ke dusun Kalodu yang berada di tengah hutan belantara.
Dengan bantuan Belanda, untuk sementara Salisi berhasil menguasai istana. Kemarahan dan kebencian rakyat kepada Salisi kian berkobar. Mereka terus menyusun kekuatan untuk mengembalikan La Ka’i ke tahta kerajaan.
Akibat ulah Salisi, akhirnya kerajaan Mbojo Bima mundur dan kacau. Rakyat menderita lahir bathin. Perjuangan seluruh sangaji dan rakyat pada masa lalu dikhianati Salisi yang bekerja sama dengan Belanda.
Pengaruh Agama Hindu di Kerajaan Mbojo Bima.
Sampai sekarang belum ada bukti, bahwa masyarakat pada masa kerajaan menganut agama Hindu. Kendati pada masa kerajaan, hubungan Mbojo Bima dengan kerajaan Medang, Kediri, Singosari dan Majapahit amat intim, namun masyarakat tidak merubah kepercayaannya.
Selama berlangsungnya hubungan dengan kerajaan di Jawa, sangaji dan rakyat hanya berguru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang agama mereka tetap menganut kepercayaan makamba makimba.
Kepercayaan makamba makimbi baru ditinggalkan oleh sangaji dan seluruh masyarakat setelah datangnya pengaruh agama Islam. Terutama setelah berdirinya kesultanan pada tahun 1640 M. Itulah sebabnya, maka agama Hindu tidak berpengaruh dikalangan masyarakat Mbojo Bima.
Mungkin sampai di sini saja cerita singkat Sejarah Kerajaan Bima (Mbojo) karma ini hanya sebatas pengetahuan pnulis. Mungkin dengan adanya satu baris tulisan ini kita sedikit bias tahu bagaima sejarah Mbojo itu sendiri. Dan bagi teman teman-teman Mbojo yang lebih tahu bagaimana itu sejarah Mbojo dapat memberikan Kritik dan saran untuk penulis demi memperbaiki tulisan-tulisan artikel sejarah Mbojo yang akan datang.
Sumber : jamikusuka.wordpres.com

rimpu mbojo

Posted by dedenirwandi | Uncategorized | Thursday 12 August 2010 9:32 am
Budaya Rimpu (Rimpu=Pakaian yang menyerupai Ninja dan di pakai sebagai kerudung dengan menggunakan sarung nggoli”) merupakan simbol yang yang selalu ada pada wanita bima saat dulu, hampir setiap kemana-mana “Rimpu tembe nggoli” selalu di kenakan oleh wanita bima jaman dulu hingga saya lahir dan kala saya masih kecil dan hidup di sebuah pedesaan di kabupaten bima saya sangat senang sekali dengan keadaan desa yang begitu damai tentram dan sejahtera. Hampir setiap hari saya jarang sekali melihat muka para kaum hawa (bukannya saya buta) tapi memang itulah jika menggunakan “Rimpu” hampir tidak ada bagian tubuhnya yang seksi kelihatan sama sekali ini semua dikarenakan mereka memakai cadar ala ninja atau kalau orang BIMA bilang Rimpu mbojo (sarung yang dipakai persis ninja) bukan seperti saat ini di bilang pakai baju tapi liuk-liuk tubuhnya yang paling sensitif malah keliatan dan ini yang menyebabkan banyaknya pemerkosaan terjadi. Dulu saya sangat senang sekali melihat semua ini sudah menjadi budaya bima karena kemana-mana mereka selalu memakainya.
Namun perjalanan Roda Jaman memang terlalu cepat berputar pengaruh modernisasi dan trend masa kini telah melanda daerah ku tercinta (BIMA) ini terlihat dari corak dan mode yang di pakai kaum hawa saat ini dan begitu juga modernisasi telah merubah hampir semua budaya yang ada di indonesia ini.saya seperti melihat suatu pemandangan yang luar biasa berubahnya karena di kota ini kaum hawa kelihatan seperti manusia yang tidak memakai baju karena liuk-liuk tubuhnya yang seksi kelihatan sangat jelas dan tentu saja ini bisa menimbulkan birahi kaum adam apalagi bagi si lelaki buaya ini merupakan lahan yang basah untuk di pelototi. Ini semua adalah korban dari keganasan jaman yang makin moderen dan dibarengi dengan si Pelaku yang tidak mau menyaring serta mengklarifikasi dulu apa ini baik atau tidak apa ini bertentangan dengan budaya atau tidak dan lebih dengan ketentuan agama. Namun ini semua telah terjadi dan budaya RIMPU tinggalah kenangan saja karena kaum hawa sekarang ini tidak lagi begitu mau mengikuti saran dan kata-kata orang tua kalau dilarang pasti di jawabnya seperti ini “ini kan jaman moderen kalau pakai rimpu tidak gaul gitu” inilah salah satu contoh yang bisa menyebabkan budaya itu runtuh karena anak cucu tidak mau mengikuti saran-saran dari orang tua atau dewasa..dan lebih kejamnya lagi karena pengaruh modernisasi bukan saja melanda kota yang baru saya tempati tapi udah merembes ke desa yang pernah saya tinggal dulu dan didesa hanya sebagian kaum hawa aja yang masih bertahan untuk memakai rimpu tersebut yaitu hanya ibu-ibu dan nenek-nenek saja. Melihat dari fenoma ini pengaruh modernisasi itu bisa masuk lewat:
1.Orang bule yang suka jalan pakai baju dalam aja
2.Karena kebanyakan nonton sinetron anak muda atau ABG
3.Karena tidak mau di bilang ketinggalan jaman
4.DLL
Dengan realita yang ada ini mampukah kita sebagai orang bima untuk mempertahankan kembali Budaya Rimpu yang pernah ada di daerah kita, karena ketika salah satu budaya telah mati atau hampir punah maka budaya-budaya dan kebiasaan lainnya pun akan hilang dengan sendirinya…Namun saya sangat berharap sekali Budaya-Budaya yang ada di Bima ada kembali dan di pertahankan
Sumber : www.lintasmbojo.com

pengaruh kebudayaan bima

Posted by astridastrid | Uncategorized | Thursday 12 August 2010 9:23 am

uta maju

Posted by astridastrid | makanan khas bima | Thursday 12 August 2010 9:01 am
Daerah Bima memiliki banyak ciri makanan khas antara lain adalah Uta Maju (baca:Daging rusa) di Bima biasanya diawetkan dengan cara didendeng. Dendeng Daging Rusa Bima tidak menggunakan bumbu yang bermacam-macam sebagai layaknya dendeng pada umumnya yang menggunakan ketumbar dan gula. Dendeng rusa Bima hanya menggunakan garam, jaman dulu mungkin orang Bima memang tidak mengenal macam-macam bumbu atau mungkin orang Bima mengutamakan rasa yang orisinil, sebuah citarasa. Ini juga patut disyukuri karena dengan jenis dendeng yang seperti ini daging rusa bisa diolah kembali menjadi berbagai macam masakan. Bukan hanya daging yang diawetkan/didendeng tapi juga tulang iga rusa juga diawetkan untuk selanjutnya menjadi bahan campuran sayur.
Karena saya hanya penikmat saja jadi tidak mungkin untuk menulis pengolahan daging rusa segar karena daging rusa segar bisa dibuat bermacam-macam masakan seperti halnya daging kambing, sate. gulai atau semur. Saya ingin menghadirkan yang khas Bima saja. Pada saat ini semakin sulit mendapatkan Dendeng Rusa karena populasi Rusa Bima yang sudah jauh berkurang atau mungkin bisa dikatakan sebentar lagi akan punah! Uta Maju Puru (Daging Rusa Bakar) Bahan-bahan yang dibutuhkan Dendeng Maju, potong-potong sesuai selera Siapkan panggangan beserta arang buatlah bara/bisa juga langsung bakar di atas nyala kompor. Siapkan martil pemukul daging dan alasnya, bisa berupa talenan atau cobek Cara Membuatnya Bakar daging dendeng uta Maju di atas bara api, bolak balik sebentar, setelah harum angkat, taruh daging diatas cobek lalu memarkan dengan martil jangan sampai tercabik-cabik biarkan utuh, bakar lagi sebentar sampai diperkirakan matang. Bila dagingnya terlalu asin bisa dicuci dulu sebelum diolah, bila masih terasa terlalu asin juga cuci lagi setelah dimemarkan sebelum dibakar untuk kedua kalinya. Siap dihidangkan dengan sayur asam wua parongge.
Uta Maju Ncango (baca:Daging Rusa Goreng) Dendeng Maju, potong-potong sesuai selera Siapkan panggangan beserta arang buatlah bara/bisa juga langsung dibakar di atas nyala kompor Siapkan martil pemukul daging dan alasnya, bisa berupa talenan atau cobek 3 sendok makan minyak goreng Alat penggorengan Cara Membuatnya Bakar daging dendeng uta Maju di atas bara api, bolak balik sebentar, setelah harum angkat, taruh daging diatas cobek lalu memarkan dengan martil jangan sampai tercabik-cabik biarkan utuh. Panaskan minyak dengan api kecil, goreng daging sudah dimemarkan. Goreng hanya sebentar saja (seperti menggoreng ikan asin). Bila dagingnya terlalu asin ikuti petunjuk di atas; cuci setelah dimemarkan lalu digoreng.
Uta Maju Ncango Sipa (Daging Rusa Abon) Bahan-bahan yang dibutuhkan 1/2kg dendeng Maju Siapkan panggangan beserta arang buatlah bara/bisa juga langsung bakar di atas nyala kompor Siapkan martil pemukul daging dan alasnya, bisa berupa talenan atau cobek 1/4kg bawang merah (Buatlah bawang goreng untuk tabur) 10 tangkai cabe keriting potong serong, bila suka pedas (goreng untuk tabur) Bumbu Perendam 1 gelas air asam jawa/bima dari 1 lembar asam matang ½ kepal gula jawa/gula merah (kurangi bila tidak suka manis) Garam sedikit (sesuaikan dengan keasinan dendeng) Penyedap rasa bila suka 1/4lt minyak untuk menggoreng Alat penggorengan Cara Membuatnya Bakar daging dendeng uta Maju di atas bara api, bolak balik sebentar, setelah harum angkat, taruh daging diatas cobek lalu memarkan dengan martil. Suwir-suwir daging tersebut dengan menggunakan tangan, jangan terlalu halus. Bumbu Perendam : Haluskan gula, campur dengan air asam serta garam dan penyedap rasa. Masukkan daging yang sudah dicabik ke dalam bumbu perendam diamkan 30 menit. Goreng di atas api sedang setelah matang angkat dan tiriskan. Campur denga bawang goreng dan cabe goreng. Cocok untuk disimpan dan untuk perjalanan jauh. Karena hanya daging kering yang diasinkan, uta Maju masih bisa dibuat bermacam-macam masakan, misalnya : Mpal goreng, dendeng balado atau bisa juga disayur atau masakan yang berkuah.
Untuk selanjutnya akan di posting lagi makanan-makanan khas bima lainnya seperti doco mbohi dungga, sepi, doco mangge, doco toma, uta jame, sia dungga, uta mbeca parongge, dan lain sebagainya
Sumber : lintasmbojo.com
Posted by astridastrid | PESONA PANTAI | Thursday 12 August 2010 3:20 am
embedded by Embedded Video

YouTube Direkt

KEINDAHAN DORO SOROMANDI

Posted by dedenirwandi | WISATA ALAM | Wednesday 11 August 2010 3:57 am
Bima adalah salah satu kota kecil yang terletak di ujung timur Propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat), di bumi Ngaha Aina Ngoho ini tersimpan banyak sekali aset-aset alam yang menyimpan sejuta pesona yang masih belum terjamah, dan perlu untuk di gali dan dijadikan sebagai objek wisata. Aset alam ini bisa dijadikan sebagai daya tarik para wisatawan domestik maupun asing. Gambar-gambar yang saya ambil disini merpakan hasil jepretan dari komunitas pecinta alam bima “KOPA MBOJO” (untuk komunitas kopa mbojo maaf sudah mengambil hasil jepretan anda tanpa ijin, tujuan saya disini adalah mengkomersilkan bumi Ngaha Aina Ngoho).
Pada kesempatan ini kita akan menyaksikan indahnya panorama alam “DORO” / Gunung Soromandi yang terletak di Kecamatan Soromandi Kabupaten Bima.
Sumber : http://samada-angi.blogspot.com

PESONA PANTAI MALUK DI SUMBAWA BARAT

Posted by astridastrid | PESONA PANTAI | Wednesday 11 August 2010 3:50 am
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki obyek wisata pantai yang tak kalah eksotisnya dengan Bali. Salah satu objek wisata pantai di NTB yang namanya sudah mulai dikenal adalah Pantai Senggigi. Sebenarnya bukan cuma Pantai Senggigi yang dapat dijadikan obyek wisata di NTB. Jika pelancong punya cukup banyak waktu, objek wisata pantai di Kabupaten Sumbawa Barat layak untuk dikunjungi.
Di Kabupaten Sumbawa Barat ini terdapat beberapa obyek wisata pantai. Mulai dari Pantai Maluk, Pantai Sekongkang, Pantai Tropical, hingga ke Pantai Jelengah. Dari obyek wisata pantai yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat ini, Pantai Maluk merupakan obyek yang paling banyak menarik minat wisatawan.
Untuk mengunjungi Pantai Maluk ini tidak terlalu sulit. Sarana transportasi yang dibutuhkan oleh wisatawan tersedia setiap saat. Dari Ibu Kota NTB, Mataram, dibutuhkan waktu sekitar enam jam untuk sampai ke Pantai Maluk. Sekitar dua jam perjalanan menggunakan feri dari Pelabuhan Kayangan Lombok. Selebihnya perjalanan ditempuh melalui jalur darat.
Pantai Maluk terdapat di Desa Maluk, Kecamatan Jereweh, Kabupaten Sumbawa Barat. Dari Pantai Maluk ini wisatawan bisa melihat pesona keindahan Teluk Maluk. Bukan hanya itu. Pantai Maluk kerap dijadikan oleh wisatawan sebagai arena berselancar. Tak heran apabila peselancar kelas dunia senantiasa mengagendakan kegiatan di Pantai Maluk.
“Ombak di Pantai Maluk ini telah masuk dalam daftar ombak terbaik bagi peselancar dunia,” jelas Eldiman, salah seorang pengelola papan selancar di Pantai Maluk yang ditemui SH belum lama ini. Oleh para peselancar, ombak di Pantai Maluk diberi julukan Super Suck. Julukan ini diberikan karena ombak yang menuju daratan terpecah oleh sebuah tanjung.
Oleh penduduk setempat, tanjung tersebut dinamai Tanjung Ahmad. Pecahan ombak ini menggulung hingga ketinggian di atas dua meter. Ombak tersebut terus bergulung-gulung hingga seolah menyedot para peselancar yang mencoba menaklukkannya. Menurut Eldiman, hanya peselancar yang piawai bermain di atas papan selancar saja yang mampu menaklukkan ombak Super Suck Pantai Maluk.
Jika wisatawan tidak membawa papan selancar, tak perlu kuatir. Eldiman menyebutkan pihaknya siap menyewakan papan selancar. Menyangkut tarif sewa, tidak ada tarif tertentu. “Kadang kami malah meminjamkannya dengan gratis,” timpal Eldiman. Dengan ombak yang begitu menantang, tak heran jika Pantai Maluk menjadi ajang pamer kemahiran para peselancar yang datang dari berbagai penjuru dunia. Biasanya mereka datang pada saat-saat hari libur. Suasana pantai yang masih tergolong sepi, membuat wisatawan menjadi lebih enjoy.
Memang dibandingkan dengan obyek wisata pantai di Bali, Pantai Maluk belum banyak dikunjungi oleh wisatawan. Pantai Maluk masih kalah populer dibandingkan dengan Pantai Kuta maupun Pantai Sanur. Padahal dari segi pesona eksotisnya, Pantai Maluk tak kalah. Pasirnya yang putih dan lembut serta matahari yang memancarkan sinar terik, bisa membuat wisatawan betah berjemur. Bagi wisatawan yang tidak ingin berjemur atau berselancar, dapat menghabiskan waktu dengan bermain kano. Setiap kano dapat disewa dengan tarif sebesar Rp 5.000 per jam.
Masakan Laut
Puas berjemur, berselancar maupun bermain kano, wisatawan dapat mengisi perut dengan berbagai masakan laut yang membangkitkan selera. Menikmati sea food sembari menyaksikan gulungan ombak berkejar-kejaran memang sangat nikmat. Kendati mulai banyak dikunjungi wisatawan mancanegara, sayangnya fasilitas yang ada masih perlu dibenahi. Memang fasilitas di Pantai Maluk terkesan masih minim. Memang fasilitas seperti pancuran terbuka, rumah makan, arena voli pantai serta fasilitas bermain anak-anak telah tersedia. Hanya saja fasilitas tersebut kapasitasnya masih minim.
Menurut Kepala Desa Maluk, Mukhlis HM, fasilitas yang ada saat ini sebenarnya jauh memadai dibandingkan beberapa tahun lalu. “Sekitar empat tahun lalu Pantai Maluk masih banyak ditumbuhi oleh semak belukar. Sekarang jauh lebih baik,” ujar Mukhlis.
Masalah lain barangkali berkaitan dengan fasilitas menginap. Memang telah ada hotel dengan tarif berkisar Rp 150.000 – Rp 250.000 per hari. Namun fasilitasnya masih terkesan seadanya. Belum dikelola secara profesional dan serius. Meski demikian, dibandingkan dengan pantai-pantai lainnya di Sumbawa Barat, fasilitas di Pantai Maluk sesungguhnya jauh lebih memadai. Di Pantai Sekongkang, misalnya, bahkan fasilitas yang tersedia boleh dibilang tak memadai. Kurangnya promosi membuat Pantai Sekongkang kalah pamor dibandingkan dengan Pantai Maluk.
Padahal ombak Pantai Sekongkang ini pun telah masuk kategori ombak terbaik di dunia bagi kalangan peselancar. Oleh para peselancar, ombak Pantai Sekongkang dijuluki dengan Ombak Yoyo. Pasalnya, gerakan ombak di Pantai Sekongkang ibarat mainan yoyo yang terayun-ayun naik turun kala dimainkan oleh anak-anak.
Di masa mendatang potensi obyek wisata pantai di Kabupaten Sumbawa Barat memang masih dapat dioptimalkan. Jika digarap dengan serius, bisa jadi pesona pantai nan eksotis Sumbawa Barat mampu menggeser popularitas Bali sebagai destinasi wisatawan dunia.
***
sumber: sinarharapan.co.id

MUSEUM SAMPARAJA di BIMA NTB

Posted by dedenirwandi | MUSEUM | Wednesday 11 August 2010 3:45 am
Museum ini dibangun sejak tahun 1987 yang dirintis sekaligus didirikan oleh Hj. Siti Maryam R. Salahuddin (anak ke-7 Sultan Salahuddin – Raja Kesultanan Bima). Tujuan pendirian Museum Kebudayaan Samparaja ialah penyelamatan peninggalan Kesultanan Bima terutama naskah-naskah lama dari kepunahan sekaligus melestarikan nilai-nilai budaya daerah serta menjadikan museum sebagai sarana penelitian kebudayaan Bima. Status museum Kebudayaan Samparaja adalah museum pribadi yang terbuka untuk umum.
Koleksi yang dimiliki museum Kebudayaan Samparaja antara lain naskah-naskah lama berhuruf Arab dan berbahasa Melayu yang ditulis sekitar abad XVII – XIX Masehi. Naskah-naskah tersebut memuat berbagai ilmu pengetahuan dan sejarah pemerintahan Bima, hukum adat dan hukum Islam yang diterapkan di Bima, Ilmu Pertanian, kelautan, perbintangan, hubungan interaksi dengan daerah lain maupun pedagang dari negeri asing. Tidak ketinggalan Kitab La Nonto Gama menjadi koleksi utama juga yaitu berupa kitab-kitab Al Quran yang ditulis dengan tangan yang merupakan peninggalan langsung Kesultanan Bima. Selain kronik, manuskrip atau naskah-naskah lama, Museum Kebudayaan Bima juga mengoleksi benda etnografi budaya Bima, pakaian adat lama semasa Kesultanan Bima dari pakaian pangkat-pangkat adat, pakaian upacara adat, pakaian pengantin, pakaian adat anak-anak, ukiran kayu dan perak, serta keramik-keramik lama.
Seiring dengan perkembangan teknologi, maka sebagian koleksi Museum Kebudayaan Samparaja terutama berupa naskah lama sudah dikonservasi dan didokumentasikan. Konservasi dilakukan dengan melaminasi naskah sebanyak hampir 2.500 lembar yang diperkirakan mampu bertahan antara 50 hingga 100 tahun yang akan datang. Pendokumentasian berupa digitalisasi dan mikro film juga telah dilakukan oleh Perpustakaan Nasional Jakarta yang mencakup hampir 2.200 lembar naskah lama. Sehingga keseluruhan naskah lama (manuskrip) yang sudah dilaminasi, didigitalisasi, dan dimikrofilmkan hampir berjumlah 4.700 lembar baik naskah lepas maupun yang dijilid.
Guna mempublikasikan hasil penelitian dan memudahkan dalam pencarian naskah, maka Museum Kebudayaan Samparaja menerbitkan beberapa buku antara lain Katalogus Naskah Bima yang berjudul Katalogus Naskah Melayu-Bima Jilid I dan II yang disusun oleh Hj. Siti Maryam R Salahuddin dan Sri Wulan Rujiati Mulyadi; dan Transliterasi Bo Sangaji Kai (catatan-catatan Kerajaan Bima) ke dalam huruf latin yang sebelumnya menggunakan aksara Arab bahasa Melayu yang disusun oleh Henri Chambert Loir dan Hj. Siti Maryam R Salahuddin. Kedua publikasi tersebut menjadi rujukan peneliti di Indonesia dan dunia dalam mempelajari sebagian kebudayaan Kesultanan Bima melalui naskah atau manuskrip yang ditinggalkannya.
Keberadaan museum ini perlu didukung oleh semua pihak baik sekedar perhatian maupun pendanaan, terlebih status museum tersebut merupakan museum pribadi yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Museum Kebudayaan Samparaja juga mengundang para peneliti dan ilmuwan untuk melakukan studi naskah (manuskrip) yang menyimpan kajian Islam yang diterapkan dalam sistem kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat di Bima pada zaman Kesultanan Bima.
Silahkan mengunjungi Museum Samparaja di Bima jika berkeinginan mempelajari lebih mendalam terkait pemerintahan Kerajaan Bima yang bernafaskan Islami.

sejarah singkat

Sejarah singkat

Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Kerajaan Bima

Kerajaan Bima dahulu terpecah–pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah, yaitu:
  1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah
  2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan
  3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat
  4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara
  5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur
Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima, cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra, yaitu:
  • Darmawangsa
  • Sang Bima
  • Sang Arjuna
  • Sang Kula
  • Sang Dewa
Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat di sebuah pulau kecil di sebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan, yakni Kerajaan Bima dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/XV.

Hubungan darah antara Bima, Bugis dan Makassar

Hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kurun waktu 1625–1819 (194 tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar di kawasan Timur Indonesia, yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke VII. Hubungan ini merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke VI, sedangkan yang ke VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa.
Ada beberapa catatan yang ditemukan, bahwa pernikahan Salah satu Keturunan Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke XI) masih terjadi dengan keturunan Sultan Gowa, sebab pada tahun 1900 (pada kepemimpinan Sultan Ibrahim), terjadi acara melamar oleh Kesultanan Bima ke Kesultanan Gowa. Mahar pada lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai yang dikuasai oleh kesultanan Bima sejak abad 17.[rujukan?]

Geografi

Letak

Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari Kota Bima). Secara geografis Kabupaten Bima berada pada posisi 117°40”-119°10” Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan.[1]

Topografi

Secara topografis wilayah Kabupaten Bima sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi bertekstur pegunungan sementara sisanya (30%) adalah dataran. Sekitar 14% dari proporsi dataran rendah tersebut merupakan areal persawahan dan lebih dari separuh merupakan lahan kering. Oleh karena keterbatasan lahan pertanian seperti itu dan dikaitkan pertumbuhan penduduk kedepan, akan menyebabkan daya dukung lahan semakin sempit. Konsekuensinya diperlukan transformasi dan reorientasi basis ekonomi dari pertanian tradisional ke pertanian wirausaha dan sektor industri kecil dan perdagangan. Dilihat dari ketinggian dari permukaàn laut, Kecamatan Donggo merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut, sedangkan daerah yang terendah adalah Kecamatan Sape dan Sanggar yang mencapai ketinggian hanya 5 m dari permukaan laut.
Di Kabupaten Bima terdapat lima buah gunung, yakni:
  • Gunung Tambora di Kecamatan Tambora
  • Gunung Sangiang di Kecamatan Wera
  • Gunung Maria di Kecarnatan Wawo
  • Gunung Lambitu di Kecamatan Lambitu
  • Gunung Soromandi di Kecamatan Donggo, merupakan gunung tertinggi di wilayah ini dengan ketinggian 4.775 m.

Batas wilayah

Kabupaten Bima terletak di bagian timur Pulau Sumbawa dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Utara Laut Flores
Selatan Samudera Indonesia
Barat Kabupaten Dompu
Timur Selat Sape

Pemekaran 2007

Pada tahun 2007 terjadi pemekaran wilayah dengan penambahan 4 kecamatan baru, yaitu:
  1. Parado
  2. Lambitu
  3. Soromandi
  4. Pali'belo
Dengan adanya pemekaran ini, sekarang Kabupaten Bima memiliki jumlah kecamatan sebanyak 18 wilayah.

Luas wilayah

Luas wilayah setelah pembentukan Daerah Kota Bima berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2002 adalah seluas 437.465 Ha atau 4.394,38 Km² (sebelum pemekaran 459.690 Ha atau 4.596,90 Km²) dengan jumlah penduduk 419.302 jiwa dengan kepadatan rata-rata 96 jiwa/Km².

Iklim dan cuaca

Wilayah Kabupaten Bima beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan relatif pendek. Keadaan curah hujan tahunan rata-rata tercatat 58.75 mm, maka dapat disimpulkan Kabupaten Bima adalah daerah berkategori kering sepanjang tahun yang berdampak pada kecilnya persediaan air dan keringnya sebagian besar sungai. Curah hujan tertinggi pada bulan Februari tercatat 171 mm dengan hari hujan selama 15 hari dan musim kering terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September dimana tidak tejadi hujan. Kabupaten Bima pada umumnya memiliki drainase yang tergenang dan tidak tergenang. Pengaruh pasang surut hanya seluas 1.085 Ha atau 0,02% dengan lokasi terbesar di wilayah pesisir pantai. Sedangkan luas lokasi yang tergenang terus menerus adalah seluas 194 Ha, yaitu wilayah Dam Roka, Dam Sumi dan Dam Pelaparado, sedangkan Wilayah yang tidak pernah tergenang di Kabupaten Bima adalah seluas 457.989 Ha.